M Ilmi Banner

M Ilmi Mini

Tujuan Hidup Karya H Achmad Zaini



TUJUAN HIDUP

Hidup ini ujian dan ujian. Kaya diuji, melarat diuji, agar hidup ini menjadi baik. Allah berfirman dalam Surat Al Mulk(67):2: Alladzii kholaqol mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala. yang artinya: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di alam dunia ini. Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, ataupun berkeluh kesah dalam kemiskinan, kemudian mati tidak berdaya ? Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam ? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “ketiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula ? Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka ? Tentu tidaklah demikian. Allah telah berfirman dalam Surat Al Ankabuut(29):64: Wamaa haadzihil hayawatud dunyaa illaa lahwuw wala’ibuw wa innad daarol aakhirota la hiyal hayawaanu, lau kaanuu ya’lamuun”. Yang artinya: “Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sesung-guhnya manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat. Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti akan menuju kesana.

Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, diciptakan tidak langsung dewasa, tetapi melalui proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa.
Baik atau buruknya kualitas manusia setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia ditentukan sejak mulai berada dalam perut Sang Ibu, masa kanak-kanak hingga dewasa. Untuk membentuk manusia berkualitas baik diperlukan makanan yang halalan thoyiban. Halalan adalah cara mendapatkan makanan itu dan thoyiban adalah mengenai mutu atau gizinya, kemudian diberi bekal pendidikan yang cukup baik, ilmu syar’i maupun ilmu  pengetahuan umum, sehingga pada achirnya menjadi “orang” yang sehat jasmani, sehat rohani dan berilmu.

Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksitensi manusia di akhirat. Kualitas manusia diakhirat nanti, akan ditentukan pula melalui proses ujian demi ujian terhadap keta’atannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Kualitas manusia di ahirat nanti, tergantung pada keberhasilan manusia sendiri dalam mengatasi ujian-ujian yang dihadapi, apakah mampu selalu ta’at mengikuti perintah Allah atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam as,

Kesadaran akan tujuan hidup manusia di dunia ini sangat penting, karena kehidupan di alam dunia sesungguhnya adalah awal kehidupan bagi manusia, dan awal yang baik akan membuahkan hasil akhir yang baik pula, dan pada hakikatnya kehidupan di dunia adalah arena untuk mencari dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah bekal pahala.
Bagaimana cara memperolehnya ? Harus melalui ujian sesuai Firman Allah dalam surat Al Baqarah(2):155. Wa lanabluwannakum bi syai im minal khoufi wal juu’ii wa naqshim amwaali wal anfusi wat tsamaraati wa basysyiruush shoobiriin, yang artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Semakin banyak pahala yang berhasil diraih, maka semakin tinggi pula tingkatnya kelak. Untuk mendapatkan pahala harus menempun ujian-ujian pada dua jalur, jaitu jalur hablum minallah dan jalur hablum minannas. Jadi dengan perkataan lain, ladang tempat mencari pahala itu terletak pada jalur hablum minallah dan jalur hablum minannas, pada kedua jalur ini, Allah telah menentukan “Aturan Main” bagaimana manusia harus bersikap. Semua aturan main ini tertuang lengkap dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Barang siapa yang dapat tetap patuh melaksanakan “aturan main” ini, dengan niat semata-mata karena Allah, maka ia disebut orang yang bertaqwa. Dan dia akan memperoleh pahala yang kelak akan dirasakan kenikmatannya di akhirat nanti.
Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga dan hati, “perlengkapan” ini merupakan sarana untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi baik ataupun buruk, ia mampu tetap ta’at mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan atau tidak.
Innaa kholaqnaal insaanu min nuthfatin amsyaajin nabthaliihi faja’alnaahu samii’am bashiiroo (2) innahu hadainaahu sabiila immaa syaakiron wa immaa kafuuro (3) yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesunggunya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (Al Insaan(76):2,3.
Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik dan curang, tetangga ataupun teman yang culas dan menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Orang-orang negatif semacam ini harus dipandang sebagai ujian pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang ditetapkan Allah swt melalui Al Qur’an dan RasulNya, maka berarti lulus. Sebaliknya bila menghadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu”. 

Ujian musibah berupa kehilangan harta benda, kehilangan nafkah, kehilangan anak, membuat orang ini menjadi stress dan gila. Tatkala Allah melimpahkan rejeki kepada orang-orang semacam ini, orang tersebut menjadi lupa diri dan berbuat durhaka kepada Allah. Kemudian ketika Allah menarik apa–apa yang telah dimilikinya, orang ini hanya bengong, bingung, stress (kurang waras) dan lupa diri. Lahu ma fissamawati wa ma fil ardhi. Apa-apa yang berada di langit dan apa-apa yang berada di bumi semuanya adalah milik Allah. Orang ini menjadi stress karena kata-kata Lahu, milik Allah ditukar menjadi kata Li, milik sendiri. 
Diberi ujian berupa musibah, bukannya istighfar, malah pergi ke paranormal atau berziarah ketempat keramat mohon berkah, mohon diberi azimat supaya suaminya yang bermain gila dengan perempuan lain agar dikembalikan, mohon supaya pacarnya kembali. Orang ini lari dari kenyataan yang keras dan mencari spiritualisme alternatif (berbuat syirik), tidak lulus.

Bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat, berbuat syirik), maupun masalah hubungan dengan manusia (misalnya menghadapi orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah Allah hendak menguji, mampu atau tidak bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadits dengan niat “lillahi ta’ala”, maka berarti lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, emosi dan berbuat syirik, berarti gagal. Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah manusia mampu mengatasinya atau tidak. Tidak ada seorangpun manusia yang dibiarkan melalui jalan yang tanpa rintangan. Bahkan para kekasih Allah sendiri, yaitu para nabi-nabi, melewati jalan yang jauh lebih sulit. Namun perlu diingat, bila ujian-ujian yang ditemui dalam perjalanan ini berhasil di atasi, maka hal itu akan diperhitungkan Allah sebagai amal saleh, yang kelak akan diganjar dengan pahala, semakin banyak amal saleh yang kita lakukan, maka akan semakin besar pula peluang untuk masuk ke dalam surga, sesuai firman Allah dalam surat An Nisaa’(4):57: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka kedalam surga ……”

Kekuatan manusia yang paling dahsyat dalam mengatasi ujian–ujian Allah adalah hati (qolbu). Oleh karena itu kita harus pandai-pandai merawat hati agar ia tidak menjadi rusak. Adapun salah satu kiat untuk menjaga hati, adalah dengan mengendalikan mata. Mata pada hakikatnya adalah hanya alat (scanner) yang memasukkan informasi data kedalam hati. Informasi yang masuk ke dalam hati ini, akan menimbulkan kesan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ada seorang penderita penyakit kusta. Bila yang difokuskan oleh mata adalah penyakitnya. Maka niscaya hati akan memunculkan kesan jijik. Tetapi bila yang difokuskan oleh mata segi manusiawinya, maka yang akan timbul adalah rasa iba.

Bila kebetulan Anda termasuk orang yang dikarunia banyak harta, maka hendaklah disadari, bahwa harta itu letaknya harus selalu ditangan, jangan biarkan ia menguasi hati. Pada hakekatnya harta cenderung mengajak pemiliknya untuk membangkang menta’ati perintah Allah dan RasulNya. 
Seluruh fasilitas yang kita miliki, pada hakikatnya adalah hanya sarana untuk kelancaran bertaqwa, semakin banyak fasilitas yang kita miliki, maka kualitas taqwa tentunya harus semakin lebih tinggi. Fasilitas ini tentu saja tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus kita cari dengan gigih.

Dengan memiliki banyak uang misalnya, memudahkan kita bersedekah, menolong orang susah, menyantuni anak yatim, membahagiakan orang tua, melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya.
Dengan memiliki rumah yang asri, taqwa dapat kita jalankan dengan baik. Dengan memiliki kendaraan, maka kita tidak perlu mengeluarkan banyak energi, dengan demikian badan kita tetap segar sampai di tujuan. Pekerjaan yang kita miliki, termasuk fasilitas untuk melancarkan taqwa juga. Bila kita tidak memiliki pekerjaan atau tiba-tiba dipecat, maka semangat hidup dapat turun, frustasi dan depresi mental pasti terjadi. Pangkat atau kedudukan yang dimilki juga untuk mempermudah bertaqwa. Dengan pangkat yang tinggi, maka akan memudahkan menghasilkan kualitas taqwa yang lebih. Keluarga saqinah, itupun merupakan fasilitas untuk melaksanakan taqwa. Mereka dapat menjadi pelipur lara yang membuat hati menjadi tenteram. Dengan hati yang tenteram tentu akan lebih mudah untuk melaksanakan taqwa.

Jadi jelaslah, fasilitas atau materi yang kita miliki gunanya hanya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan taqwa. Bila kita telah menghayati hal ini, maka insya Allah kita tidak akan silau oleh materi ataupun kedudukan. Karena sesungguhnya, semua itu dititipkan Allah semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan saja. Jadi untuk menuju syurga akan ditentukan melalui proses kompetisi yang panjang selama hidup di dunia; yaitu kompetisi dalam mengumpulkan pahala. Kompetisi ini berakhir pada waktu kita mati,
”Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila datang ajalnya”.

Mari kita berusaha mengumpulkan pahala semaksimal mungkin dengan mematuhi “aturan main” yang tertuang dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Billahit taufiq wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

30-11-2008
H. Achmad Zaini, SH


Tidak ada komentar:

Entri Populer