TUJUAN HIDUP
Hidup ini ujian dan ujian. Kaya diuji, melarat diuji, agar hidup ini
menjadi baik. Allah berfirman dalam Surat Al Mulk(67):2: Alladzii kholaqol mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala. yang artinya: “Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya.
Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu
apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di alam dunia ini. Apakah manusia
hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan
harta yang dimilikinya, ataupun berkeluh kesah dalam kemiskinan, kemudian mati
tidak berdaya ? Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya
api obor yang padam ? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “ketiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula ? Bila ya, apakah
berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka ? Tentu tidaklah demikian.
Allah telah berfirman dalam Surat Al Ankabuut(29):64: “Wamaa haadzihil hayawatud dunyaa illaa lahwuw wala’ibuw wa innad daarol
aakhirota la hiyal hayawaanu, lau kaanuu ya’lamuun”. Yang artinya: “Dan tidaklah
kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, Dan sesungguhnya
akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sesung-guhnya manusia akan terus ada dan
tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan
abadi di akhirat. Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti
akan menuju kesana.
Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap yaitu dengan melalui
suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, diciptakan tidak langsung
dewasa, tetapi melalui proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi
janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi
dewasa.
Baik atau buruknya kualitas manusia setelah dewasa nanti, sangat
ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak
dini. Kualitas manusia ditentukan sejak mulai berada dalam perut Sang Ibu, masa
kanak-kanak hingga dewasa. Untuk membentuk manusia berkualitas baik diperlukan
makanan yang halalan thoyiban. Halalan adalah cara mendapatkan makanan itu dan
thoyiban adalah mengenai mutu atau gizinya, kemudian diberi bekal pendidikan
yang cukup baik, ilmu syar’i maupun ilmu
pengetahuan umum, sehingga pada achirnya menjadi “orang” yang sehat jasmani,
sehat rohani dan berilmu.
Demikian
pulalah kiranya Allah menjadikan eksitensi manusia di akhirat. Kualitas manusia
diakhirat nanti, akan ditentukan pula melalui proses ujian demi ujian terhadap
keta’atannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Kualitas manusia di ahirat
nanti, tergantung pada keberhasilan manusia sendiri dalam mengatasi ujian-ujian
yang dihadapi, apakah mampu selalu ta’at mengikuti perintah Allah atau
membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada
Adam as,
Kesadaran akan tujuan hidup manusia di dunia ini sangat penting, karena
kehidupan di alam dunia sesungguhnya adalah awal kehidupan bagi manusia, dan
awal yang baik akan membuahkan hasil akhir yang baik pula, dan pada hakikatnya
kehidupan di dunia adalah arena untuk mencari dan mengumpulkan bekal
sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak bekalnya, maka akan
semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Jika untuk mencapai kedudukan tinggi
di masyarakat harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai
kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah bekal pahala.
Bagaimana
cara memperolehnya ? Harus melalui ujian sesuai Firman Allah dalam surat Al
Baqarah(2):155. Wa lanabluwannakum bi syai im minal khoufi wal juu’ii wa naqshim
amwaali wal anfusi wat tsamaraati wa basysyiruush shoobiriin, yang artinya: “Dan sungguh akan kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar.”
Semakin banyak pahala yang berhasil diraih, maka semakin tinggi pula
tingkatnya kelak. Untuk mendapatkan pahala harus menempun ujian-ujian pada dua
jalur, jaitu jalur hablum minallah
dan jalur hablum minannas. Jadi
dengan perkataan lain, ladang tempat
mencari pahala itu terletak pada jalur hablum minallah dan jalur hablum
minannas, pada kedua jalur ini, Allah telah menentukan “Aturan Main” bagaimana manusia harus bersikap. Semua aturan main
ini tertuang lengkap dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Barang siapa yang dapat tetap patuh melaksanakan “aturan main” ini,
dengan niat semata-mata karena Allah, maka ia disebut orang yang bertaqwa. Dan dia akan memperoleh
pahala yang kelak akan dirasakan kenikmatannya di akhirat nanti.
Allah melengkapi manusia dengan mata,
telinga dan hati, “perlengkapan” ini merupakan sarana untuk menguji manusia,
apakah dalam setiap situasi dan kondisi baik ataupun buruk, ia mampu tetap
ta’at mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan atau tidak.
Innaa
kholaqnaal insaanu min nuthfatin amsyaajin nabthaliihi faja’alnaahu samii’am
bashiiroo (2) innahu hadainaahu sabiila immaa syaakiron wa immaa kafuuro (3) yang artinya “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sesunggunya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir (Al Insaan(76):2,3.
Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang
picik dan curang, tetangga ataupun teman yang culas dan menyebalkan, ini semua
terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Orang-orang negatif semacam ini harus
dipandang sebagai ujian pada jalur
hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan
tuntunan yang ditetapkan Allah swt melalui Al Qur’an dan RasulNya, maka berarti
lulus. Sebaliknya bila menghadapi
dengan emosi atau nafsu, maka berarti gagal.
Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati
adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu”.
Ujian musibah berupa kehilangan harta benda, kehilangan nafkah,
kehilangan anak, membuat orang ini menjadi stress dan gila. Tatkala
Allah melimpahkan rejeki kepada orang-orang semacam ini, orang tersebut menjadi
lupa diri dan berbuat durhaka kepada Allah. Kemudian ketika Allah menarik
apa–apa yang telah dimilikinya, orang ini hanya bengong, bingung, stress
(kurang waras) dan lupa diri. Lahu ma
fissamawati wa ma fil ardhi. Apa-apa yang berada di langit dan apa-apa yang
berada di bumi semuanya adalah milik Allah. Orang ini menjadi stress karena
kata-kata Lahu, milik Allah ditukar
menjadi kata Li, milik sendiri.
Diberi ujian berupa musibah, bukannya istighfar, malah pergi ke
paranormal atau berziarah ketempat keramat mohon berkah, mohon diberi azimat
supaya suaminya yang bermain gila dengan perempuan lain agar dikembalikan,
mohon supaya pacarnya kembali. Orang ini lari dari kenyataan yang keras dan
mencari spiritualisme alternatif (berbuat syirik), tidak lulus.
Bahwa
semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa
malas mendirikan shalat, berbuat syirik), maupun masalah hubungan dengan
manusia (misalnya menghadapi orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah
Allah hendak menguji, mampu atau tidak bersikap sesuai dengan kehendak Allah
dan Rasulullah saw. Bila dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadits dengan niat “lillahi ta’ala”, maka berarti lulus. Sebaliknya, bila masalah itu
kita hadapi dengan nafsu, emosi dan berbuat syirik, berarti gagal. Begitulah
medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam
perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu
merupakan ujian apakah manusia mampu mengatasinya atau tidak. Tidak ada seorangpun
manusia yang dibiarkan melalui jalan yang tanpa rintangan. Bahkan para kekasih
Allah sendiri, yaitu para nabi-nabi, melewati jalan yang jauh lebih sulit.
Namun perlu diingat, bila ujian-ujian yang ditemui dalam perjalanan ini
berhasil di atasi, maka hal itu akan diperhitungkan Allah sebagai amal saleh,
yang kelak akan diganjar dengan pahala, semakin banyak amal saleh yang kita
lakukan, maka akan semakin besar pula peluang untuk masuk ke dalam surga,
sesuai firman Allah dalam surat An Nisaa’(4):57: “Dan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka kedalam surga ……”
Kekuatan manusia yang paling dahsyat dalam mengatasi ujian–ujian Allah
adalah hati (qolbu). Oleh karena itu
kita harus pandai-pandai merawat hati agar ia tidak menjadi rusak. Adapun salah
satu kiat untuk menjaga hati, adalah dengan mengendalikan mata. Mata pada
hakikatnya adalah hanya alat (scanner) yang memasukkan informasi data kedalam
hati. Informasi yang masuk ke dalam hati ini, akan menimbulkan kesan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, ada seorang penderita penyakit kusta. Bila yang
difokuskan oleh mata adalah penyakitnya. Maka niscaya hati akan memunculkan
kesan jijik. Tetapi bila yang difokuskan oleh mata segi manusiawinya, maka yang
akan timbul adalah rasa iba.
Bila kebetulan Anda termasuk orang yang dikarunia banyak harta, maka
hendaklah disadari, bahwa harta itu letaknya harus selalu ditangan, jangan
biarkan ia menguasi hati. Pada hakekatnya harta cenderung mengajak pemiliknya
untuk membangkang menta’ati perintah Allah dan RasulNya.
Seluruh fasilitas yang kita miliki, pada hakikatnya adalah hanya sarana
untuk kelancaran bertaqwa, semakin banyak fasilitas yang kita miliki, maka
kualitas taqwa tentunya harus semakin lebih tinggi. Fasilitas ini tentu saja
tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus kita cari dengan gigih.
Dengan memiliki banyak uang misalnya, memudahkan kita bersedekah,
menolong orang susah, menyantuni anak yatim, membahagiakan orang tua,
melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya.
Dengan memiliki rumah yang asri, taqwa dapat kita jalankan dengan baik.
Dengan memiliki kendaraan, maka kita tidak perlu mengeluarkan banyak energi,
dengan demikian badan kita tetap segar sampai di tujuan. Pekerjaan yang kita
miliki, termasuk fasilitas untuk melancarkan taqwa juga. Bila kita tidak
memiliki pekerjaan atau tiba-tiba dipecat, maka semangat hidup dapat turun,
frustasi dan depresi mental pasti terjadi. Pangkat atau kedudukan yang dimilki
juga untuk mempermudah bertaqwa. Dengan pangkat yang tinggi, maka akan
memudahkan menghasilkan kualitas taqwa yang lebih. Keluarga saqinah, itupun
merupakan fasilitas untuk melaksanakan taqwa. Mereka dapat menjadi pelipur lara
yang membuat hati menjadi tenteram. Dengan hati yang tenteram tentu akan lebih
mudah untuk melaksanakan taqwa.
Jadi jelaslah, fasilitas atau materi yang kita miliki gunanya hanya
untuk menunjang kelancaran pelaksanaan taqwa. Bila kita telah menghayati hal
ini, maka insya Allah kita tidak akan silau oleh materi ataupun kedudukan.
Karena sesungguhnya, semua itu dititipkan Allah semata-mata sebagai alat untuk
meningkatkan ketaqwaan saja. Jadi untuk menuju syurga akan ditentukan melalui
proses kompetisi yang panjang selama hidup di dunia; yaitu kompetisi dalam
mengumpulkan pahala. Kompetisi ini berakhir pada waktu kita mati,
”Dan Allah
sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila datang ajalnya”.
Mari kita berusaha mengumpulkan pahala semaksimal mungkin dengan
mematuhi “aturan main” yang tertuang
dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Billahit taufiq wal
Hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
30-11-2008
H. Achmad Zaini, SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar